Sunday, July 23, 2017

Part 3: Apa Itu Tana'?


Tana’
Menurut mitologi masyarakat Toraja, cikal bakal dari status kaunan adalah dari kedua putra Pande Nunu, yaitu Datu Bakka’ dan Pong Malaleong. Pande Nunu menikahi perempuan yang tidak jelas asal-usulnya. Kedua putranya itu menyadari status mereka ketika tidak ada seorangpun yang bersedia menikah dengan mereka. Mereka mencari tahu dan mereka mendapatkan jawabannya, itu disebabkan karena ayah mereka menikahi perempuan yang memakai gelang dari tanah (to ponto litakan, to gallang karauan), yang menandakan statusnya yang rendah. Datu Bakka’ dan Pong Malaleong menolak diperlakukan seperti kerbau untuk mengerjakan sawah (Nokami dipotedong tedong uma Datu Bakka’, tang ma’dinmi dipokarambau tempe’ Pong Malaleong). Mereka juga menolak menerima penyelesaiaan tradisional (tarian pitu), tetapi akhirnya mereka tunduk setelah mereka kalah dalam cara terakhir yaitu perang.[1]
Menurut Th. Kobong dalam bukunya Injil dan Tongkonan, status sosial itu sudah sejak dahulu kala terjadi di atas langit. Misalnya yang membawa atau memikul Sukaran Aluk Sola Pemali (sanda pitunna / 7777) dari langit ke bumi melalui Eran Dilangi’ (tangga dari langit ke bumi) adalah seorang budak dari Puang Bura Langi’ bernama Pong Pakulando. Puang Matua memberikan 77777 aluk, tetapi Pong Pakulando tidak sanggup memikulnya sehingga hanya membawa 7777 aluk[2]. Tugas dan kewajiban manusia adalah mengamalkan aluk todolo dengan mengikuti kelahiran manusia sesuai dengan ajaran sukaran aluk yang menurut mitos kelahiran manusia itu ada empat proses yang ditempuh oleh Puang Matua dalam terciptanya nenek moyang manusia sebagai berikut:
(1)   Kelahiran yang pertama ialah kelahiran atau diciptakannya Datu La Ukku’ melalui Sauan Sibarrung.
(2)   Kelahiran kedua ialah kelahiran Puang Adang dari perkawinan Banggai Rante dan Tallo’ Mangka Kalena atas suruhan Puang Matua.
(3)   Kelahiran ke tiga ialah diciptakannya Pande Pong Kambuno Langi’ melalui pula Sauan Sibarrung.
(4)   Kelahiran yang ke empat ialah diciptakannya Patto Kalembang oleh Puang Matua sebagai nenek manusia yang terakhir di atas langit.[3]
Dari keempat Nenek Moyang Manusia ini masing-masing diberikan tugas dan kewajiban akan menempati  bumi dan tugas memuliakan Puang Matua, tugas tersebut adalah
-          Datu La Ukku’ menerima sukaran aluk (agama dan aturan hidup)
-          Puang Adang menerima maluang ba’tang (kepemimpinan dan kecerdasan)
-          Pande Pong Kambuno Langi’ menerima pande (Keahlian seperti tukang-tukang, ahli perang, dan ketangkasan)
-          Patto Kalembang menerima matutu inaa (pengabdi).[4]
Tahapan kelahiran manusia menurut Aluk To dolo menjadi status sosial (tana’) dalam masyarakat Toraja, oleh karena itu tana’ dalam masyarakat Toraja terdiri dari empat tingkatan yaitu:
-          Tana’ Bulaan, adalah lapisan bangsawan tinggi sebagai pewaris yang dapat menerima sukaran aluk, yang dipercayakan mengatur aturan hidup dan memimpin agama. Yaitu: Puang, Ma’dika, Siambe’, dan Sindo’
-          Tana’ Bassi, adalah lapisan bangsawan menengah sebagai pewaris yang dapat menerima maluangan bata’tang, ditugaskan mengatur kepemimpinan dan mengajarkan kecerdasan. Yaitu: To makaka (bangsawan dan orang kaya) dan To Parengge’.
-          Tana’ Karurung, adalah lapisan rakyat biasa yang merdeka, tidak pernah diperintah langsung, sebagai pewaris yang dapat menerima pande, yaitu tukang-tukang dan orang-orang terampil. Yaitu: bulo dia’pa’ atau to buda (orang kebanyakan dan orang merdeka)
-          Tana’ Kua-kua, adalah lapisan hamba sahaya sebagai pewaris yang menerima tanggung jawab sebagai pengabdi, biasanya disebut matutu inaa. Yaitu: kaunan (budak).[5]
Dalam pembagian tana’ tersebut sangat menentukan dalam tata kehidupan masyarakat Toraja. Hal-hal yang berkaitan dengan tana’ dapat dilihat dalam:
(1)   Menghadapi Perkawinan atau Rampanan Kapa’
Kapa’ (Kapas artinya putih, suci, bersih, sakral, juga kapa’ juga berarti ikatan, rampanan=nikah, juga rampanan juga berarti balok panjang pada kiri kanan rumah tempat atap bertumpu (landasan)). Kapa’ juga berarti tana’ atau patok yang artinya ikatan/ketentuan yang telah ditetapkan. Jadi rampanan kapa’ bisa juga bermakna landasan/tumpuan bagi ketentuan yang telah ditetapkan menjadi dasar suatu peraturan yang disepakati. Kapa’ juga berarti denda yang disepakati kedua belah pihak keluarga yang harus dibayar ketika salah satu pihak dianggap bersalah menceraikan pasangannya jika terjadi perceraian. Denda tersebut adalah tana’ bulaan = 12 sampai 24 kerbau (6 sampai 12 pasang), tana’ bassi = 6 kerbau (3 pasang), tana’ karurung = 2 kerbau (1 pasang), dan tana’ kua-kua = 1 babi betina yg sudah melahirkan (bai doko).[6]
(2)   Menghadapi Pemakaman/Upacara Adat Pemakaman.
Menurut Aluk To Dolo, keselamatan manusia ditentukan oleh ritus pemakamannya dan ritus pemakaman ini terkait berdasarkan dengan tana’ dari orang yang meninggal. Oleh karena itu berbagai tingkat upacara pemakaman jenazah dalam kalangan orang Toraja sesuai dengan tana’ masing-masing. Tingkatan tersebut adalah
-          Didedekan palungan yaitu suatu metafora ritus bagi seseorang betul-betul sangat miskin. Seekor babi imajiner dipanggil dengan memukul-mukul palungan. Ritus ini untuk semua tana’ yang betul-betul sangat miskin.
-          Disilli’ adalah ritus dengan seekor babi untuk semua tana’.
-          Dibai tungga’ yaitu ritus dengan satu ekor babi (tungga’=tunggal), tetapi ritus ini hanya berlaku untuk tana’ kua-kua.
-          Dibai a’pa’ yaitu ritus dengan empat ekor babi, ritus ini hanya untuk tana’ kua-kua.
-          Tedong tungga’ yaitu ritus dengan satu ekor kerbau, ritus ini untuk semua tana’.
-          Tedong tallu (tallung bongi) yaitu ritus dengan tiga ekor kerbau dan berlangsung tiga hari (malam), ritus ini untuk tana’ karurung ke atas.
-          Tedong pitu (limang bongi) yaitu ritus dengan tujuh ekor kerbau dan berlangsung lima hari (malam), ritus ini untuk tana’ bassi.
-          Tedong kasera atau lebih (pitung bongi) yaitu ritus dengan sembilan ekor kerbau dan berlangsung tujuh hari (malam) (kasera=sembilan), ritus ini untuk tana’ bassi dan tana’ bulaan.
-          Rapasan yaitu ritus yang tertinggi; kerbau boleh lebih dari sembilan ekor, ritus ini untuk tana’ bassi dan tana’ bulaan.[7]
(3)   Menghadapi pengangkatan Jabatan Adat atau menjadi Pemerintah Adat.[8] Pemangku adat adalah tana’ bulaan.
Pada saat aluk sanda saratu’ muncul yang dibawa oleh Tomanurun Tamboro Langi’, kedudukan dan pemerintahan yang ada saat itu adalah bersifat monarkhistis, maka menurut aluk sanda saratu’ susunan tana’ adalah sebagai berikut:
-          Tana’ Bulaan hanya khusus bagi turunan Puang Tomanurun.
-          Tana’ Bassi untuk bangsawan yang bukan turunan Puang Tomanurun, atau darahnya lebih banyak turunan bukan turunan Tomanurun.
-          Tana’ karurung untuk semua rakyat merdeka atau yang tidak berketurunan bangsawan yang kesemuanya digolongkan dalam golongan kasta pengabdi kepada Tana’ Bassi dan Tana’ Bulaan.[9]
Sedangkan Tana’ dalam Tallulembangna (ketiga lembang: Makale, Sangalla’ dan Mengkendek) khususnya di daerah Basse Tangngana[10] yaitu Sangalla’ dikenal penggolongan tana’ sebagai berikut:
-          Tana’ Bulaan: Puang Massang yaitu Kelas tertinggi (bangsawan) atau mereka yang disebut orang-orang “berdarah putih”  dan Anak disese yaitu mereka lahir dari pernikahan antara Puang Massang dengan To makaka,
-          Tana’ bassi: To makaka yaitu orang-orang merdeka atau bebas,
-          Tana’ karurung: Kaunan yaitu budak atau hamba-termasuk di dalamnya adalah kaunan tai manuk.



[1] Ibid., hlm 7.
[2] Th. Kobong, Op. cit., bnd. hlm 18.
[3] L.T. Tangdilintin, Op. cit., hlm 202-203.
[4] Ibid., hlm 203.
[5] Abdul Aziz Said, Op. cit., hlm 24.
[6] L.T. Tangdilintin, Op. cit., hlm 213.
[7] Th. Kobong, Op. cit., hlm 50.
[8] L.T. Tangdilintin, Op. cit., hlm 205.
[9] Ibid., hlm 208.
[10] Basse Tangngana artinya sebuah “basse” atau “perjanjian” dari Tallu Lembangna (Makale, Sangalla’, dan Mengkendek) yang telah ditetapkan oleh penguasa 3 daerah itu dengan melakukan perlombaan. Juara pertama: Makale (Basse Kakanna), Juara Kedua: Sangalla’ (Basse Tangngana), dan Juara Ketiga: Mengkendek (Basse Adinna). (Hasil wawancara dengan Bpk. Rupang Anggo tgl 30 Oktober 2016).

No comments:

Post a Comment