(Lokasi: @Tongkonan di Karuaya, Jln Poros Bebo'-Tumbangdatu, Sangalla' Utara, Kab. Tana Toraja)
Toraja
adalah salah satu suku di Sulawesi Selatan yang sangat terkenal dengan daerah
wisata, baik keindahan alamnya maupun kebudayaannya. Hal yang menjadi daya
tarik wisatawan adalah budaya rambu solo’nya.
Bahkan daya tariknya ini sampai di luar negeri. Tidak jarang, wisatawan dari manca
negara meramaikan kunjungannya ke Toraja dan juga wisatawan lokal yang
penasaran dengan rambu solo’.
Toraja
juga terkenal akan hasil buminya sebagai penghasil kopi terbaik dunia. Toraja
terkenal juga dengan kulinernya yang pedas, unik, dan enak. Ditambah lagi,
dengan adanya media sosial (FB, Twitter,
Instagram, Path), youtube, internet (browsing/google), media berita online,
dan media televisi yang dengan gamblang
menayangkan budaya Toraja dan tempat-tempat wisata “baru” yang sedang “viral”
di dunia maya seperti: istilah Negeri Di
Atas Awan di Lolai, Bukit Teletubis/Pasir
Putih di Ollon, Gumuk Pasir Hitam
di Rantebua, Patung Yesus Memberkati
di Burake, Patung Salib di Singki’, Air Terjun 7 Tingkat di Marintang, dan lain
sebagainya.
Tana
Toraja yang terletak 310 kilometer dan di sebelah Utara Provinsi Sulawesi
Selatan dapat dicapai dengan mobil selama tujuh atau delapan jam dari kota
Makassar. Belanda sudah berada di Sulawesi Selatan sejak abad ke 17, namun mereka
baru sampai ke Toraja pada tahun 1905. Keadaan ini membuat masyarakat Toraja
terisolasi dan barangkali itu menjadi salahsatu penyebab mengapa mereka dapat
mempertahankan tradisi dan budaya mereka secara turun-temurun.[1]
[1] Stanislaus Sandarupa, dkk, Kambunni’ Kebudayaan Tallu Lolona
Toraja, Makassar: De La Macca, 2016, hlm 1.
1.
Kebudayaan
Toraja
a.
Pengertian
Kebudayaan
Koentjaningrat
mengatakan bahwa terdapat lebih dari 179 buah definisi yang pernah dirumuskan
oleh para sarjana mengenai pengertian akan kebudayaan itu.[1]
Kata
“kebudayaan” berasal dari bahasa
Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi
(budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal
manusia. Dalam bahasa
Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin
colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai
mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan
sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.[2]
Kebudayaan
adalah hasil karya cipta manusia baik material maupun spiritual secara
menyeluruh berdasarkan akal, rasa dan kemauan dalam mengolah alam untuk
menjamin kelangsungan hidup suatu masyarakat dalam segala bidang kehidupan.
Oleh karena itu, kebudayaan itu dinamis, bergerak maju sesuai tuntutan zaman,
maka hendaklah kita bersifat positif, selektif, kritis dan kreatif. Kebudayaan
itu harus dipersembahkan kepada Tuhan supaya Ia menguduskannya untuk kemuliaan
dan kesejahteraan manusia.[3]
b.
Nama
dan Budaya Toraja
Beberapa
pendapat mengenai asal kata Toraja yaitu berasal dari istilah yang diberikan
oleh orang Bugis Sidenreng (Kerajaan Sidenreng), yaitu Toriaja. To artinya
orang, Riaja artinya sebelah atas
atau bagian Utara yang artinya orang yang berasal dari ketinggian di Utara.
Pendapat dari orang Bugis Luwu (Kerajaan Luwu), yaitu To Riajang. To artinya
orang, Riajang artinya sebelah Barat Kerajaan
Luwu, jadi To Riajang adalah orang
yang berasal dari daerah sebelah Barat, di samping itu ada juga mitos yang
hidup dikalangan orang Toraja sendiri tentang mitos “Lakipadada” yang terdapat
di Kerajaan Gowa. Orang setempat di Gowa memberi sebutan kepada Lakipadada itu
dengan nama Tau Raya (dalam bahasa
Makassar, tau=orang, raya=timur). Sehingga menamakan pula
tempat asalnya sebagai orang Tana Tau
Raya oleh orang Gowa, kemudian menjadi Tana Toraja yang dikenal sekarang
ini.[4]
Sebelum
kata Toraja dipergunakan untuk daerah
yang sekarang dinamakan Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara, sebenarnya dulu
adalah suatu negeri yang berdiri sendiri dan dinamakan “To untongkonni lili’na lepongan bulan gontingna matari’ allo”,
artinya orang yang mendiami wilayah yang bulat dalam cakupan bulan dan
matahari, atau “To basse lepongan bulan
matari’ allo”, artinya orang yang berikrar sebagai satu persatuan dalam
satu wilayah yang bulat yang dilingkupi bulan dan matahari.[5]
Pendapat lain menamakan Tondok lepongan
bulan tana matari’ allo yang artinya negeri yang membentuk pemerintahan dan
kemasyarakatannya merupakan kesatuan yang bulat/bundar bagaikan bentuk bulan
dan matahari.[6]
Adanya
nama Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo
tersebut bersumber dari terbentuknya negeri itu dalam suatu kebulatan/kesatuan
tata masyarakat yang berdasarkan:
(1) Persekutuan
dan kesatuan berdasarkan satu agama/kepercayaan yaitu Aluk To Dolo, dengan suatu aturan yang bersumber dari satu sumber
yaitu di negeri Marinding Banua Puan
yang dikenal dengan Aluk Sanda Pituna (aturan/agama 7777) atau Aluk pitung sa’bu pitung ratu’ pitung pulo pitu (aturan tujuh ribu
tujuh ratus tujuh puluh tujuh).[7]
(2) Terbentuknya
negeri tersebut berasal dari beberapa daerah adat dan budaya, dengan satu
sumber yang memancar bagaikan sinar bulan dan matahari.[8]
Toraja
terkenal dengan mottonya atau “Basse dipamatua
langi’ panda dipamatua tana” (bersumpah atas nama langi’ dan bersumpah atas
nama bumi) yaitu: “Misa’ kada dipotuo, pantan
kada dipomate, rokko komi tang maratoi bombang, diongmi tang tu’pe daunna”[9],
yang terkenal sampai saat ini adalah “Misa’
kada dipotuo pantan kada dipomate” yang artinya sama dengan “bersatu kita
teguh bercerai kita runtuh”. Motto ini muncul ketika Perang antara Suku Bugis
(Bone) dan Suku Toraja untuk mencegah Raja Bone menguasai wilayah Toraja, yang
diceritakan dalam suatu kisah kepahlawanan orang Toraja yang disebut To Pada Tindo (orang yang bermimpi yang
sama) “Untulak buntunna Bone, unnula’ To sendana
bonga” (menentang pengaruh dan kekuasaan Bone). To pada tindo ini berjumlah 122 orang[10]
yang berasal dari berbagai daerah di wilayah adat Toraja, dan yang diwakili
oleh Ketua Adat dalam setiap Tongkonan[11]
Untuk lebih memahami apa itu budaya Toraja maka
kita perlu memahami terlebih dahulu pengertian aluk dan adat yang
kemudian melahirkan kebudayaan Toraja. Hubungan antara aluk, adat dan kebudayaan dalam pandangan dunia dan falsafah hidup
orang Toraja mestinya dipahami sebagai keyakinan murni tentang agama keberadaan
dan kebersamaan (Religion des Seins und
Mitseins). Sekalipun pandangan dunia dan falsafah hidup keduanya berbeda
tetapi perbedaan itu bersifat sekunder. Di mana pandangan dunia sudah puas
dengan memikirkan dunia ini di bawah kategori kenyataan (keharusan berfikir,
berada dan berperilaku) secara metafisis, sedangkan falsafah hidup biasanya
lebih banyak mempersoalkan kategori keberadaan (kelakuan eksistensial, makna)
dan kehidupan bersama (etos:keharusan).
Aluk adalah tata hidup yang berlaku
di semua bidang kehidupan yang mencakup adat
dan kebudayaan.[12]
Hubungan
aluk dan adat erat sekali, kait mengait dan tak terpisahkan. Dapat dikatakan
bahwa aluk bersendikan adat dan adat bersendikan aluk.
Kata aluk sendiri bisa berarti agama,
adat, aturan, perbuatan, dan aluk
sendiri berarti aturan-aturan misalnya aluk
rampanan kapa’. Aluk dan adat keduanya
diikat oleh pantangan (pemali).
Sanksi pelanggaran aluk dan adat adalah bersifat keagamaan. Atau
sekurang-kurangnya suatu kebiasaan (dandanan
sangka’) diperkuat dengan motivasi agamawi (dipakekei’ aluk). Seseorang yang mengucilkan diri dari persekutuan tongkonan bukan saja hal merupakan
masalah sosialogis tetapi adalah soal religius karena memisahkan diri dari
kesatuan upacara dan ketaatan kepada aturan nenek moyang.[13]
Aluk
adalah seluruh tatanan kehidupan untuk mencapai tujuan, itulah kebudayaan dalam
pengertian orang Toraja. Bahwa kehidupan sehari-hari tidaklah bisa dilepaskan
dari kehidupan religius (aluk).
Ketika aluk tersebut dilaksanakan,
maka orang Toraja mengenalnya sebagai sebuah kebiasaan (adat). Dengan demikian orang Toraja sejak awalnya tidak mengenal
istilah adat. Orang Toraja baru
mengenal istilah adat setelah
masuknya kekristenan dan modernisme, yang berakibat munculnya kecenderungan
mencoba memisahkan antara aluk dan adat yang sesungguhnya tidak dapat
dipisahkan (teranyam dalam satu kesatuan).[14]
Istilah
kebudayaan tidak dikenal dalam bahasa Toraja, tetapi dalam implementasi aluk dan adat dengan sendirinya
menghasilkan kebudayaan. Dalam bahasa Toraja modern, “kebudayaan” disebut pa’pana’ta’, yang merupakan istilah
modern, tetapi merujuk pada pengertian kebudayaan. Kata dasarnya adalah a’ta’, yang berarti merentangkan. Pa’pana’ta’ adalah sesuatu yang
dipelihara, diatur, dijaga, dikembangkan, yang merupakan hasil pekerjaan. Jadi pa’pana’ta’ mengandung arti “kebudayaan”
yang berarti hasil kegiatan yang berdasarkan gagasan atau keyakinan. Kebudayaan
tersebut menampakkan diri dalam tiga bidang kehidupan, yaitu: kebudayaan
sebagai gagasan (idea) atau keyakinan, aktivitas dan sebagai penggapaian secara
teknis.[15]
Jadi kebudayaan Toraja adalah pencapaian manusia melalui kegiatannya
berdasarkan ketaatannya pada aluk
yang merupakan refleksi tentang pandangan hidup (adat), sedangkan adat merupakan
sisi lain agama (keyakinan).[16]
[1] Koentjaraningrat,
Kebudayaan,
Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 1997,
hlm 9-10.
[2] Ibid, hlm
9.
[3] Th. Kobong dkk,
Aluk,
Adat dan Kebudayaan Toraja dalam Perjumpaan dengan Injil, Rantepao:
Pusbang-BPS Gereja Toraja, 1992, hlm
17-18.
[4] Abdul
Aziz Said, Toraja: Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional, Yogyakarta:
Ombak, 2004, hlm 9-10.
[5] Y.A.
Sarira (dianalisis), Aluk Rambu Solo’ dan Presepsi Orang Kristen
Tentang Rambu Solo’, Rantepao: Pusbang Gereja Toraja, 1996, hlm 11.
[6] Abdul Aziz Said,
Op. cit., hlm 9.
[7] L.T. Lintin, Op.
cit., hlm 1.
[9] Y. A.
Sarira, Op. cit., Hlm 233. (Rokko komi tang maratoi bombang, diongmi
tang tu’pe daunna artinya ikut berpartisipasi tidak akan tersentuh
gelombang keras, turun bersama tidak akan membuat celaka)
[11]
Kata Tongkonan berasal dari kata ‘Tongkon’
yang artinya duduk, mendapat akhiran ‘an’
maka ‘Tongkonan’ adalah ‘tempat
duduk’, juga berarti tempat yaitu rumah adat Toraja (rumpun keluarga).
[12] Th. Kobong, Op.
cit., hlm 3-4.
[13] Th Kobong, (dkk), Op.
cit., hlm 11-12.
[14] BPS
Gereja Toraja, Lampiran-lampiran (Laporan BPSGT Ke SSA XXIV Gereja Toraja): Laporan
Hasil Semiloka dan Tim Kerja, Makale: PT Sulo, 2016, lih. Kekristenan
dan Ketorajaan, hlm 5.
[15]
Th. Kobong, Op. cit., hlm 65.
[16]
Ibid., hlm 66.
No comments:
Post a Comment