Saturday, July 22, 2017

Part 1: Mengenal Jati Diri Sebagai "Orang Toraja"

(Lokasi: @Tongkonan di Karuaya, Jln Poros Bebo'-Tumbangdatu, Sangalla' Utara, Kab. Tana Toraja)
Toraja adalah salah satu suku di Sulawesi Selatan yang sangat terkenal dengan daerah wisata, baik keindahan alamnya maupun kebudayaannya. Hal yang menjadi daya tarik wisatawan adalah budaya rambu solo’nya. Bahkan daya tariknya ini sampai di luar negeri. Tidak jarang, wisatawan dari manca negara meramaikan kunjungannya ke Toraja dan juga wisatawan lokal yang penasaran dengan rambu solo’.
Toraja juga terkenal akan hasil buminya sebagai penghasil kopi terbaik dunia. Toraja terkenal juga dengan kulinernya yang pedas, unik, dan enak. Ditambah lagi, dengan adanya media sosial (FB, Twitter, Instagram, Path), youtube, internet (browsing/google), media berita online, dan media televisi yang dengan gamblang menayangkan budaya Toraja dan tempat-tempat wisata “baru” yang sedang “viral” di dunia maya seperti: istilah Negeri Di Atas Awan di Lolai, Bukit Teletubis/Pasir Putih di Ollon, Gumuk Pasir Hitam di Rantebua, Patung Yesus Memberkati di Burake, Patung Salib di Singki’, Air Terjun 7 Tingkat di Marintang, dan lain sebagainya.
Tana Toraja yang terletak 310 kilometer dan di sebelah Utara Provinsi Sulawesi Selatan dapat dicapai dengan mobil selama tujuh atau delapan jam dari kota Makassar. Belanda sudah berada di Sulawesi Selatan sejak abad ke 17, namun mereka baru sampai ke Toraja pada tahun 1905. Keadaan ini membuat masyarakat Toraja terisolasi dan barangkali itu menjadi salahsatu penyebab mengapa mereka dapat mempertahankan tradisi dan budaya mereka secara turun-temurun.[1]



[1] Stanislaus Sandarupa, dkk, Kambunni’ Kebudayaan Tallu Lolona Toraja, Makassar: De La Macca, 2016, hlm 1.

1.      Kebudayaan Toraja
a.      Pengertian Kebudayaan
Koentjaningrat mengatakan bahwa terdapat lebih dari 179 buah definisi yang pernah dirumuskan oleh para sarjana mengenai pengertian akan kebudayaan itu.[1]  Kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi, dan akal manusia. Dalam  bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.[2]
Kebudayaan adalah hasil karya cipta manusia baik material maupun spiritual secara menyeluruh berdasarkan akal, rasa dan kemauan dalam mengolah alam untuk menjamin kelangsungan hidup suatu masyarakat dalam segala bidang kehidupan. Oleh karena itu, kebudayaan itu dinamis, bergerak maju sesuai tuntutan zaman, maka hendaklah kita bersifat positif, selektif, kritis dan kreatif. Kebudayaan itu harus dipersembahkan kepada Tuhan supaya Ia menguduskannya untuk kemuliaan dan kesejahteraan manusia.[3]
b.      Nama dan Budaya Toraja
Beberapa pendapat mengenai asal kata Toraja yaitu berasal dari istilah yang diberikan oleh orang Bugis Sidenreng (Kerajaan Sidenreng), yaitu Toriaja. To artinya orang, Riaja artinya sebelah atas atau bagian Utara yang artinya orang yang berasal dari ketinggian di Utara. Pendapat dari orang Bugis Luwu (Kerajaan Luwu), yaitu To Riajang. To artinya orang, Riajang artinya sebelah Barat Kerajaan Luwu, jadi To Riajang adalah orang yang berasal dari daerah sebelah Barat, di samping itu ada juga mitos yang hidup dikalangan orang Toraja sendiri tentang mitos “Lakipadada” yang terdapat di Kerajaan Gowa. Orang setempat di Gowa memberi sebutan kepada Lakipadada itu dengan nama Tau Raya (dalam bahasa Makassar, tau=orang, raya=timur). Sehingga menamakan pula tempat asalnya sebagai orang Tana Tau Raya oleh orang Gowa, kemudian menjadi Tana Toraja yang dikenal sekarang ini.[4]
Sebelum kata Toraja dipergunakan untuk daerah yang sekarang dinamakan Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara, sebenarnya dulu adalah suatu negeri yang berdiri sendiri dan dinamakan “To untongkonni lili’na lepongan bulan gontingna matari’ allo”, artinya orang yang mendiami wilayah yang bulat dalam cakupan bulan dan matahari, atau “To basse lepongan bulan matari’ allo”, artinya orang yang berikrar sebagai satu persatuan dalam satu wilayah yang bulat yang dilingkupi bulan dan matahari.[5] Pendapat lain menamakan Tondok lepongan bulan tana matari’ allo yang artinya negeri yang membentuk pemerintahan dan kemasyarakatannya merupakan kesatuan yang bulat/bundar bagaikan bentuk bulan dan matahari.[6]
Adanya nama Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo tersebut bersumber dari terbentuknya negeri itu dalam suatu kebulatan/kesatuan tata masyarakat yang berdasarkan:
(1)   Persekutuan dan kesatuan berdasarkan satu agama/kepercayaan yaitu Aluk To Dolo, dengan suatu aturan yang bersumber dari satu sumber yaitu di negeri Marinding Banua Puan yang dikenal dengan Aluk Sanda Pituna (aturan/agama 7777) atau Aluk pitung sa’bu pitung ratu’ pitung pulo pitu (aturan tujuh ribu tujuh ratus tujuh puluh tujuh).[7]
(2)   Terbentuknya negeri tersebut berasal dari beberapa daerah adat dan budaya, dengan satu sumber yang memancar bagaikan sinar bulan dan matahari.[8]
Toraja terkenal dengan mottonya atau “Basse dipamatua langi’ panda dipamatua tana” (bersumpah atas nama langi’ dan bersumpah atas nama bumi) yaitu: “Misa’ kada dipotuo, pantan kada dipomate, rokko komi tang maratoi bombang, diongmi tang tu’pe daunna”[9], yang terkenal sampai saat ini adalah “Misa’ kada dipotuo pantan kada dipomate” yang artinya sama dengan “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”. Motto ini muncul ketika Perang antara Suku Bugis (Bone) dan Suku Toraja untuk mencegah Raja Bone menguasai wilayah Toraja, yang diceritakan dalam suatu kisah kepahlawanan orang Toraja yang disebut To Pada Tindo (orang yang bermimpi yang sama) “Untulak buntunna Bone, unnula’ To sendana bonga” (menentang pengaruh dan kekuasaan Bone). To pada tindo ini berjumlah 122 orang[10] yang berasal dari berbagai daerah di wilayah adat Toraja, dan yang diwakili oleh Ketua Adat dalam setiap Tongkonan[11]
Untuk  lebih memahami apa itu budaya Toraja maka kita perlu memahami terlebih dahulu pengertian aluk dan adat yang kemudian melahirkan kebudayaan Toraja. Hubungan antara aluk, adat dan kebudayaan dalam pandangan dunia dan falsafah hidup orang Toraja mestinya dipahami sebagai keyakinan murni tentang agama keberadaan dan kebersamaan (Religion des Seins und Mitseins). Sekalipun pandangan dunia dan falsafah hidup keduanya berbeda tetapi perbedaan itu bersifat sekunder. Di mana pandangan dunia sudah puas dengan memikirkan dunia ini di bawah kategori kenyataan (keharusan berfikir, berada dan berperilaku) secara metafisis, sedangkan falsafah hidup biasanya lebih banyak mempersoalkan kategori keberadaan (kelakuan eksistensial, makna) dan kehidupan bersama (etos:keharusan). Aluk adalah tata hidup yang berlaku di semua bidang kehidupan yang mencakup adat dan kebudayaan.[12]
Hubungan aluk dan adat erat sekali, kait mengait dan tak terpisahkan. Dapat dikatakan bahwa aluk bersendikan adat dan adat bersendikan aluk. Kata aluk sendiri bisa berarti agama, adat, aturan, perbuatan, dan aluk sendiri berarti aturan-aturan misalnya aluk rampanan kapa’. Aluk dan adat  keduanya diikat oleh pantangan (pemali). Sanksi pelanggaran aluk dan adat adalah bersifat keagamaan. Atau sekurang-kurangnya suatu kebiasaan (dandanan sangka’) diperkuat dengan motivasi agamawi (dipakekei’ aluk). Seseorang yang mengucilkan diri dari persekutuan tongkonan bukan saja hal merupakan masalah sosialogis tetapi adalah soal religius karena memisahkan diri dari kesatuan upacara dan ketaatan kepada aturan nenek moyang.[13]
Aluk adalah seluruh tatanan kehidupan untuk mencapai tujuan, itulah kebudayaan dalam pengertian orang Toraja. Bahwa kehidupan sehari-hari tidaklah bisa dilepaskan dari kehidupan religius (aluk). Ketika aluk tersebut dilaksanakan, maka orang Toraja mengenalnya sebagai sebuah kebiasaan (adat). Dengan demikian orang Toraja sejak awalnya tidak mengenal istilah adat. Orang Toraja baru mengenal istilah adat setelah masuknya kekristenan dan modernisme, yang berakibat munculnya kecenderungan mencoba memisahkan antara aluk dan adat yang sesungguhnya tidak dapat dipisahkan (teranyam dalam satu kesatuan).[14]
Istilah kebudayaan tidak dikenal dalam bahasa Toraja, tetapi dalam implementasi aluk dan adat dengan sendirinya menghasilkan kebudayaan. Dalam bahasa Toraja modern, “kebudayaan” disebut pa’pana’ta’, yang merupakan istilah modern, tetapi merujuk pada pengertian kebudayaan. Kata dasarnya adalah a’ta’, yang berarti merentangkan. Pa’pana’ta’ adalah sesuatu yang dipelihara, diatur, dijaga, dikembangkan, yang merupakan hasil pekerjaan. Jadi pa’pana’ta’ mengandung arti “kebudayaan” yang berarti hasil kegiatan yang berdasarkan gagasan atau keyakinan. Kebudayaan tersebut menampakkan diri dalam tiga bidang kehidupan, yaitu: kebudayaan sebagai gagasan (idea) atau keyakinan, aktivitas dan sebagai penggapaian secara teknis.[15] Jadi kebudayaan Toraja adalah pencapaian manusia melalui kegiatannya berdasarkan ketaatannya pada aluk yang merupakan refleksi tentang pandangan hidup (adat), sedangkan adat merupakan sisi lain agama (keyakinan).[16]



[1] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 1997, hlm 9-10.
[2] Ibid, hlm 9.
[3] Th. Kobong dkk, Aluk, Adat dan Kebudayaan Toraja dalam Perjumpaan dengan Injil, Rantepao: Pusbang-BPS  Gereja Toraja, 1992, hlm 17-18.
[4] Abdul Aziz Said, Toraja: Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional, Yogyakarta: Ombak, 2004, hlm 9-10.
[5] Y.A. Sarira (dianalisis), Aluk Rambu Solo’ dan Presepsi Orang Kristen Tentang Rambu Solo’, Rantepao: Pusbang Gereja Toraja, 1996, hlm 11.
[6] Abdul Aziz Said, Op. cit.,  hlm 9.
[7] L.T. Lintin, Op. cit., hlm 1.
[8] Ibid., hlm 1-2.
[9] Y. A. Sarira, Op. cit., Hlm 233. (Rokko komi tang maratoi bombang, diongmi tang tu’pe daunna artinya ikut berpartisipasi tidak akan tersentuh gelombang keras, turun bersama tidak akan membuat celaka)
[10] Ibid., lih. daftar nama to pada tindo, hlm 229-323.
[11] Kata Tongkonan berasal dari kata ‘Tongkon’ yang artinya duduk, mendapat akhiran ‘an’ maka ‘Tongkonan’ adalah ‘tempat duduk’, juga berarti tempat yaitu rumah adat Toraja (rumpun keluarga).
[12] Th. Kobong, Op. cit., hlm 3-4.
[13] Th Kobong, (dkk), Op. cit., hlm 11-12.
[14] BPS Gereja Toraja, Lampiran-lampiran (Laporan BPSGT Ke SSA XXIV Gereja Toraja): Laporan Hasil Semiloka dan Tim Kerja, Makale: PT Sulo, 2016, lih. Kekristenan dan Ketorajaan, hlm 5.
[15] Th. Kobong, Op. cit., hlm 65.
[16] Ibid., hlm 66.

No comments:

Post a Comment