Saturday, July 22, 2017

Part 2: Mengenal Alukta (Aluk Todolo)


a.      Aluk To Dolo
Aluk To Dolo berasal dari kata Aluk dan To Dolo, Aluk artinya aturan atau upacara, juga dapat diartikan sebagai kepercayaaan. Sedangkan To Dolo artinya leluhur atau nenek moyang. secara harafiah Aluk To Dolo dapat diartikan sebagai agama leluhur. Aluk To Dolo (agama leluhur) atau Alukta (agama kita), agama asli Toraja sejak 1969 mendapat status resmi sebagai mazhab Agama Hindu, namun sesungguhnya tidak memuat paham atau ajaran Agama Hindu. Aluk To Dolo terbentuk dari sejumlah lapisan tradisi dalam perjalanan sejarah. Sekurangnya terdapat dua lapisan tradisi utama, yaitu Aluk Sanda Pitunna dan Aluk Sanda Saratu’.[1]
Kepercayaan Aluk To Dolo tidak memiliki kitab suci secara tertulis, karena budaya Toraja diwariskan secara lisan atau tidak tertulis[2]. Sumber utama dari ajaran Aluk To Dolo adalah passomba tedong. Passomba tedong secara harafiah berasal dari kata passomba artinya penyucian dan tedong artinya kerbau yaitu proses penyucian kerbau. Passomba tedong merupakan inti dari ajaran Aluk To Dolo yang merupakan “buku suci” Aluk, berisi tentang kisah penciptaan dengan meletakkan dasar relasi harmonis dengan tiga pucuk kehidupan (tallu lolona): relasi harmonis dengan Pencipta, dewa-dewa, roh-roh dan nenek-moyang (leluhur); relasi harmonis dengan sesama manusia; dan relasi harmonis dengan alam lingkungan. Passomba tedong terdiri dari dua versi yaitu Passomba Tedong versi Kesu’ (PTK) dan Passomba Tedong versi Makale Tallu Lembangna (PTM-TL). Naskah PTK terdiri dari 791 kuplet dan PTM-TL terdiri dari 1186 kuplet.[3]
Menurut Ajaran Aluk To Dolo Dalam Passomba Tedong terjadi kisah penciptaan di langit oleh Puang Matua. Ia menciptakan segala isi bumi ini dengan pertama-tama menciptakan 8 (delapan) Zat atau Makhluk di atas langit menggunakan bulaan matasak (emas murni) melalui suatu wadah tempahan Sauan sibarrung (puputan kembar, suling kembar) sebagai berikut:
-          Nenek[4] dari Manusia bernama Datu La Ukku’,
-          Nenek dari Racun berbisa bernama Menrante,
-          Nenek dari Kapas bernama La Ungku,
-          Nenek dari Besi bernama Irako,
-          Nenek dari Hujan bernama Pong Pirik-pirik,
-          Nenek dari Kerbau bernama Menturini,
-          Nenek dari Padi bernama Lamemme, dan
-          Nenek dari Ayam bernama Menturiri.[5]
Hubungan semua ciptaan ini adalah sangserekan artinya bahwa paruh-sobekan dari satu keutuhan dengan kata lain bahwa mereka adalah saudara. Yang bukan manusia rela mengorbankan diri untuk manusia (Datu La Ukku’).[6] Debu dari ciptaan ini dihamburkan Puang Matua di lembah yang subur. Setelah lewat jumlah malam yang lengkap, tumbuhlah bermacam pohon dan tanaman, dan hewan.[7]
(1)   Aluk Sanda Pitunna
Menurut kepercayaan leluhur, manusia Toraja adalah keturunan Puang Buralangi’, makhluk ilahi/dewa yang turun dari langit ke bumi di bawah dan kawin dengan Kembong Bura. Dari perkawinan inilah lahir manusia pertama di bumi yaitu Pong Mula Tau.[8] Aluk Sanda Pitunna dikaitkan dengan dua tokoh, yaitu Tangdilino’ dan Suloara’. Tampaknya, umum diterima bahwa Tangdilino’ mendirikan pusat pemerintahan baru di Marinding, dengan nama Banua Puan dan memakai gelar baru, yaitu Ma’dika. Perubahan nama dan gelar ini perlu mendapat perhatian. Banua berarti “rumah”, sedangkan Puan adalah bentuk singkat dari ampuan atau empuan, yang berasal dari akar kata mpu, yang dari padanya berasal pula empu, ampu dan puang (= pemilik, tuan). Jadi Banua Puan secara harafiah berarti “rumah yang memiliki”, tetapi dapat juga berarti “rumah dari orang yang memiliki”. Namun menarik bahwa Tangdilino’ mengambil gelar Ma’dika, bukan puang. Kata Ma’dika (bdk. bahasa Indonesia, merdeka) berasal dari bahasa Sansekerta, dan berarti “bebas atau independen”.
Pemerintahan Banua Puan, menurut Tangdilintin, didirikan pada abad ke-10[9]. Pendapat ini didukung oleh fakta sejarah, bahwa pada awal abad yang sama Mpu Sindok mendirikan sebuah dinasti baru di Jawa Timur. Sebuah piagam Mpu Sindok, yang dibuat pada tahun 929, isinya menjadikan Cungrang sebuah daerah perddhikan (daerah independen), sebagai penghormatan kepada ayah mertuanya, Rakryan Bawang. Kata  perddhikan berasal dari akar kata yang sama dengan ma’dika, maraddhika, merdeka. Agaknya Tangdilino’ membebaskan diri dari kasak kusuk persaingan antar kelompok (para Puang lembang) di selatan, dan mendirikan pusat pemerintahan baru Banua Puan di Marinding, Mengkendek.[10]
   Dalam upayanya menegakkan kembali kedamaian dan mengembangkan sebuah tata masyarakat baru serta aturan-aturan keagamaan yang didasarkan pada filosofi, yang kemudian dikenal dengan nama “Aluk Sanda Pitunna” (Aluk Lengkap Tujuh), Tangdilino’ dibantu oleh Pong Sulo Ara’, seorang ahli adat dari wilayah Sesean. Aluk Sanda Pitunna berlandaskan tujuh prinsip, yang terdiri dari tiga prinsip aluk (Aluk Tallu Oto’na) dan empat prinsip adat (Ada’ A’pa’ Oto’na). Ke tujuh dasar/falsafah tersebut adalah:
Aluk Tallu Oto’na (tiga falsafah agama), yaitu:
-          Falsafah mengenai kepercayaan terhadap Puang Matua sebagai pencipta alam semesta yang wajib disembah dengan aturan-aturan tertentu.
-          Falsafah mengenai kepercayaan terhadap Deata-deata sebagai pemelihara alam semesta, ciptaan Puang Matua, yang wajib disembah berdasarkan aturan-aturan agama.
-          Falsafah mengenai kepercayaan terhadap To Membali Puang atau To Dolo sebagai pengawas dan pemberi berkat kepada manusia turunannya, yang wajib dipuja dan dimuliakan berdasarkan aturan-aturan agama.[11]
Ada’ A’pa’ oto’na (empat falsafah adat), yaitu:
-          Ada’na Dadinna Ma’loko Tau atau adat kelahiran manusia
-          Ada’na Tuona Ma’balo Tau atau adat kehidupan manusia
-          Ada’na Manombala Ma’lulo Tau atau adat pemujaan manusia kepada Tuhannya.
-          Ada’na Masena Ma’lulo Tau adat kematian manusia[12]
Pada tataran pelaksanaan aluk (bidang ritual), lagi-lagi ada prinsip empat, sebagai berikut:
-          Aluk simuane tallang silau eran,  prinsip pembagian dua ritual, yaitu aluk rambu tuka’ atau aluk rampe matallo (ritual yang berkaitan dengan kehidupan) dan aluk rambu solo’ atau aluk rampe matampu’ (yang berkaitan dengan kematian);
-          Lesoan aluk atau patiran aluk, menyangkut tingkatan dan aturan pelaksanaan aluk menurut ketiga wilayah yang berbeda, yaitu wilayah Timur, Tengah, dan Barat[13];
-          Pemali sukaran aluk, kewajiban-kewajiban moral dan larangan-larangannya, yang dikelompokkan menjadi pemalinna aluk ma’lolo tau (menyangkut manusia), pemalinna aluk patuoan (menyangkut hewan ternak), pemalinna aluk tananan (menyangkut tanaman), dan pemalinna aluk bangunan banua (menyangkut rumah/ tongkonan)[14];
-          Pantiti’ dan pesung, berkenaan dengan aturan-aturan terperinci persembahan, seperti bagian mana dari hewan korban yang harus dipotong untuk persembahan, bagaimana meletakkan persembahan itu.
(2)   Aluk Sanda Saratu’
Kejadian penting selanjutnya dalam sejarah Toraja ialah datangnya kelompok yang disebut Tomanurun (to=orang; manurun=turun) di sekitar bagian akhir abad ke-13 Masehi. Terdapat kepercayaan dikalangan masyarakat bahwa Tomanurun itu datang dari langit, sebuah kisah mitologis yang ada tidak saja dikalangan orang Toraja tetapi juga dikalangan kelompok etnis lainnya di Sulawesi Selatan[15]. Di antara para Tomanurun ada tiga yang paling terkenal, yaitu Tomanurun Tamboro Langi’ ri Kandora, Tomanurun di Langi’ Puang ri Kesu’, dan Tomanurun Mambio Langi’ ri Kaero. Ketiganya menetap di “Padang Dipuangi", wilayah bagian Tengah, dan karena itu mereka digelar Puang[16].
Dengan cepat para Tomanurun itu memperoleh pengaruh besar di masyarakat karena mereka memiliki kelebihan dalam banyak hal. Tersebar cerita bahwa mereka telah diutus dari langit oleh Puang Matua dengan tugas melaksanakan pembaharuan keagamaan. Sebab di mata Puang Matua, aluk waktu itu tidak lagi sebagaimana adanya pada permulaan. Tokoh paling terkemuka di antara para Tomanurun  itu ialah Tamboro Langi’. Dialah yang dikenal sebagai pendiri apa yang disebut Aluk Sanda Saratu' (= Aluk Lengkap Seratus).[17] Di sini lagi, sebagaimana halnya dengan nama Aluk Sanda Pitunna, kita menjumpai simbol-simbol angka. Ajaran pokok Aluk Sanda Saratu’ ialah bahwa setiap bentuk kesatuan yang ada dalam kosmos itu tersusun bertingkat-tingkat. Demikian pulalah halnya dengan masyarakat manusia. Demikianlah, secara simbolis, angka 1-9 menampilkan rakyat kebanyakan, dimana angka 9 menandakan orang biasa yang sempurna. Selanjutnya angka puluhan antara 10 dan 90 menandakan tingkat-tingkat pemimpin dalam masyarakat, sementara angka 100 (saratu’) menyimbolkan penguasa tertinggi duniawi, yaitu raja; dan akhirnya angka 1000 adalah untuk Ada Tertinggi, Puang Matua.[18]
Sedemikian itu, dari namanya mudah diterka bahwa ajaran baru ini menekankan tata duniawi, organisasi masyarakat. Dalam Aluk Sanda Pitunna tekanan diletakkan khususnya pada hubungan antara makhluk (terutama manusia) dan kenyataan ilahi (Puang Matua dan dewa/i), dimana hidup ritual begitu diperhatikan. Dalam kenyataan, ajaran dasar Aluk Sanda Pitunna, “yang sudah tertanam dalam di hati rakyat”[19], tetap diterima dalam Aluk Sanda Saratu’. Dan dengan demikian Aluk Sanda Saratu’ sering juga disebut Aluk Sanda Karua (Ajaran lengkap delapan).[20] Dengan kedatangan para Tomanurun, khususnya lewat penyebaran Aluk Sanda Saratu’, mulailah berlaku sistem monarki[21], dan status sosial yang ditandai dengan tiga tingkatan status dalam masyarakat, yaitu golongan Puang (terdiri dari para Tomanurun dan keturunannya), tomakaka (penduduk yang sudah ada sebelumnya) dan kaunan (para hamba, yang dikatakan datang menyertai para Tomanurun,  serta keturunannya). Masa ini dalam sejarah Toraja disebut “masa aristokratis” oleh Puang Paliwan Tandilangi’. Kepemimpinan tertinggi dalam masyarakat diambil alih oleh para Tomanurun dan keturunannya, sementara para Kepala Adat yang lama (dikalangan para tomakaka) turun ke tingkatan lebih rendah (bua’ ke bawah), di mana pada kenyataannya semangat kekeluargaan dan sistem Aluk Sanda Pitunna tetap hidup di kalangan masyarakat.
Apa yang baru dikatakan di atas berlangsung di bagian selatan Padang Dipuangi (Tallu Lembangna dan Balusu di Utara)[22]. Di bagian utara berlangsung perkembangan yang berbeda. Agaknya bagian Utara berupaya tetap mempertahankan Aluk Sanda Pitunna secara murni. Oleh karena itu dapat dipahami kalau kemudian pusat Aluk Sanda Pitunna pindah dari Banua Puan di Marinding ke Kesu’, yang selanjutnya dikenal sebagai Panta’nakan Lolo (tempat penyemaian, artinya tempat di mana orang-orang muda dibina untuk menjadi pemimpin, atau juga biasa disebut pucuk kepemimpinan), sebagaimana sudah disinggung di atas. Namun, dalam perjalanan sejarah selanjutnya nyatalah bahwa bagian Utara pun tidak kebal terhadap pengaruh dari luar, agaknya khususnya dari kerajaan Luwu’, menyangkut sistem monarki dan status sosial. Karena itu, tidak mengherankan bahwa Passomba Tedong versi Kesu’ juga bicara mengenai hamba.[23]




[1] John Liku Ada’, Materi seminar–Lokakarya Toraya Ma’kombongan: “Perjumpaan Paham Allah dalam Agama Kristiani dan Aluk To Dolo dalam konteks Pancasila”, Makale 4-5 Juli 2012, lih. Hlm 9.
[2] BPS Gereja Toraja, Op. cit., lih. Kekristenan dan Ketorajaan, hlm 11.
[3] John Liku Ada’, Op. cit., lih. Materi: Menggali dan Melestarikan Nilai-nilai Religio-Kulturasi Tallu Lembangna dalam Konteks Pancasila, hlm 1-2.
[4] Nenek atau ne’ dalam bahasa Toraja bermakna jamak, bisa berarti nenek dan juga berarti kakek.
[5] L.T. Tandilintin, Op. cit., hlm 73-75.
[6] John Liku Ada’, Op. cit., lih. Materi: Menggali dan Melestarikan Nilai-nilai Religio-Kulturasi Tallu Lembangna dalam Konteks Pancasila, hlm 11.
[7] Th. Kobong, Op.cit., hlm 13.
[8] BPS Gereja Toraja, Op. cit., lih. Materi: Kekristenan dan Ketorajaan, hlm 16.
[9] L.T. Tangdilintin, Op. cit., hlm 16 dan 74-75.
[10] John Liku Ada’, Op. cit., hlm 5.
[11] Abdul Azis Said, Op. cit., hlm 31.
[12] Ibid., hlm 31.
[13] L.T. Tangdilintin, Op. cit., Uraian lebih terperinci, lih. hlm 20-23.
[14] Ibid., lih. hlm 88-94.
[15] Ibid., hlm 15.
[16] Ibid., hlm 87-88.
[17] Ibid., hlm 92.
[18]Ibid.,hlm 92-93.
[19] Ibid., hlm 15.
[20] Ibid., hlm 89-90.
[21] Ibid., hlm 93.
[22] Ibid., lih hlm 15.
[23] John Liku Ada’, Materi seminar–Lokakarya Toraya Ma’kombongan:Refleksi Seabad Injil Masuk Toraja dan Menyongsong Centennium Berikutnya”, Makale 4-5 Juli 2012, lih. hlm 7.

No comments:

Post a Comment