a.
Aluk To Dolo
Aluk
To Dolo berasal dari kata Aluk dan To Dolo, Aluk artinya aturan atau upacara, juga
dapat diartikan sebagai kepercayaaan. Sedangkan To Dolo artinya leluhur atau nenek moyang. secara harafiah Aluk To Dolo dapat diartikan sebagai
agama leluhur. Aluk To Dolo (agama
leluhur) atau Alukta (agama kita),
agama asli Toraja sejak 1969 mendapat status resmi sebagai mazhab Agama Hindu, namun
sesungguhnya tidak memuat paham atau ajaran Agama Hindu. Aluk To Dolo terbentuk dari sejumlah lapisan tradisi dalam
perjalanan sejarah. Sekurangnya terdapat dua lapisan tradisi utama, yaitu Aluk Sanda Pitunna dan Aluk Sanda Saratu’.[1]
Kepercayaan Aluk To Dolo tidak memiliki kitab suci secara tertulis, karena budaya
Toraja diwariskan secara lisan atau tidak tertulis[2].
Sumber utama dari ajaran Aluk To Dolo
adalah passomba tedong. Passomba tedong secara harafiah berasal dari kata passomba artinya penyucian dan tedong
artinya kerbau yaitu proses penyucian kerbau. Passomba tedong merupakan inti dari ajaran Aluk To Dolo yang merupakan “buku suci” Aluk, berisi
tentang kisah penciptaan dengan meletakkan dasar relasi harmonis dengan tiga
pucuk kehidupan (tallu lolona): relasi
harmonis dengan Pencipta, dewa-dewa, roh-roh dan nenek-moyang (leluhur); relasi
harmonis dengan sesama manusia; dan relasi harmonis dengan alam lingkungan.
Passomba tedong terdiri dari dua
versi yaitu Passomba Tedong versi
Kesu’ (PTK) dan Passomba Tedong versi
Makale Tallu Lembangna (PTM-TL). Naskah PTK terdiri dari 791 kuplet dan PTM-TL terdiri
dari 1186 kuplet.[3]
Menurut Ajaran Aluk To Dolo Dalam Passomba
Tedong terjadi kisah penciptaan di langit oleh Puang Matua. Ia menciptakan
segala isi bumi ini dengan pertama-tama menciptakan 8 (delapan) Zat atau
Makhluk di atas langit menggunakan bulaan
matasak (emas murni) melalui suatu wadah tempahan Sauan sibarrung (puputan kembar, suling kembar) sebagai berikut:
-
Nenek[4]
dari Manusia bernama Datu La Ukku’,
-
Nenek dari Racun berbisa bernama
Menrante,
-
Nenek dari Kapas bernama La Ungku,
-
Nenek dari Besi bernama Irako,
-
Nenek dari Hujan bernama Pong
Pirik-pirik,
-
Nenek dari Kerbau bernama Menturini,
-
Nenek dari Padi bernama Lamemme, dan
-
Nenek dari Ayam bernama Menturiri.[5]
Hubungan semua ciptaan ini adalah sangserekan artinya bahwa paruh-sobekan
dari satu keutuhan dengan kata lain bahwa mereka adalah saudara. Yang bukan
manusia rela mengorbankan diri untuk manusia (Datu La Ukku’).[6]
Debu dari ciptaan ini dihamburkan Puang Matua
di lembah yang subur. Setelah lewat jumlah malam yang lengkap, tumbuhlah
bermacam pohon dan tanaman, dan hewan.[7]
(1) Aluk Sanda Pitunna
Menurut kepercayaan leluhur, manusia
Toraja adalah keturunan Puang Buralangi’,
makhluk ilahi/dewa yang turun dari langit ke bumi di bawah dan kawin dengan Kembong
Bura. Dari perkawinan inilah lahir manusia pertama di bumi yaitu Pong Mula Tau.[8]
Aluk Sanda Pitunna dikaitkan dengan
dua tokoh, yaitu Tangdilino’ dan Suloara’. Tampaknya, umum diterima bahwa
Tangdilino’ mendirikan pusat pemerintahan baru di Marinding, dengan nama Banua Puan dan memakai gelar baru, yaitu
Ma’dika. Perubahan nama dan gelar ini
perlu mendapat perhatian. Banua berarti
“rumah”, sedangkan Puan adalah bentuk
singkat dari ampuan atau empuan, yang berasal dari akar kata mpu, yang dari padanya berasal pula empu, ampu dan puang (= pemilik, tuan). Jadi Banua
Puan secara harafiah berarti “rumah yang memiliki”, tetapi dapat juga
berarti “rumah dari orang yang memiliki”. Namun menarik bahwa Tangdilino’
mengambil gelar Ma’dika, bukan puang. Kata Ma’dika (bdk. bahasa Indonesia, merdeka)
berasal dari bahasa Sansekerta, dan berarti “bebas atau independen”.
Pemerintahan Banua Puan, menurut Tangdilintin, didirikan pada abad ke-10[9].
Pendapat ini didukung oleh fakta sejarah, bahwa pada awal abad yang sama Mpu Sindok mendirikan sebuah dinasti
baru di Jawa Timur. Sebuah piagam Mpu
Sindok, yang dibuat pada tahun 929, isinya menjadikan Cungrang sebuah daerah perddhikan (daerah independen), sebagai
penghormatan kepada ayah mertuanya, Rakryan Bawang. Kata perddhikan
berasal dari akar kata yang sama dengan ma’dika,
maraddhika, merdeka. Agaknya Tangdilino’ membebaskan diri dari kasak kusuk
persaingan antar kelompok (para Puang lembang)
di selatan, dan mendirikan pusat pemerintahan baru Banua Puan di Marinding, Mengkendek.[10]
Dalam
upayanya menegakkan kembali kedamaian dan mengembangkan sebuah tata masyarakat
baru serta aturan-aturan keagamaan yang didasarkan pada filosofi, yang kemudian
dikenal dengan nama “Aluk Sanda Pitunna”
(Aluk Lengkap Tujuh), Tangdilino’
dibantu oleh Pong Sulo Ara’, seorang ahli adat dari wilayah Sesean. Aluk Sanda Pitunna berlandaskan tujuh
prinsip, yang terdiri dari tiga prinsip aluk
(Aluk Tallu Oto’na) dan empat prinsip adat
(Ada’ A’pa’ Oto’na). Ke tujuh dasar/falsafah tersebut adalah:
Aluk
Tallu Oto’na (tiga falsafah agama), yaitu:
-
Falsafah mengenai kepercayaan terhadap Puang Matua sebagai pencipta alam
semesta yang wajib disembah dengan aturan-aturan tertentu.
-
Falsafah mengenai kepercayaan terhadap Deata-deata sebagai pemelihara alam
semesta, ciptaan Puang Matua, yang
wajib disembah berdasarkan aturan-aturan agama.
-
Falsafah mengenai kepercayaan terhadap To Membali Puang atau To Dolo sebagai pengawas dan pemberi
berkat kepada manusia turunannya, yang wajib dipuja dan dimuliakan berdasarkan
aturan-aturan agama.[11]
Ada’
A’pa’ oto’na (empat falsafah adat), yaitu:
-
Ada’na
Dadinna Ma’loko Tau atau adat kelahiran manusia
-
Ada’na
Tuona Ma’balo Tau atau adat kehidupan manusia
-
Ada’na
Manombala Ma’lulo Tau atau adat pemujaan manusia kepada Tuhannya.
Pada tataran pelaksanaan aluk (bidang ritual), lagi-lagi ada
prinsip empat, sebagai berikut:
-
Aluk
simuane tallang silau eran, prinsip pembagian dua ritual, yaitu aluk rambu tuka’ atau aluk rampe matallo (ritual yang
berkaitan dengan kehidupan) dan aluk
rambu solo’ atau aluk rampe matampu’
(yang berkaitan dengan kematian);
-
Lesoan
aluk
atau patiran aluk, menyangkut
tingkatan dan aturan pelaksanaan aluk
menurut ketiga wilayah yang berbeda, yaitu wilayah Timur, Tengah, dan Barat[13];
-
Pemali
sukaran aluk, kewajiban-kewajiban moral dan
larangan-larangannya, yang dikelompokkan menjadi pemalinna aluk ma’lolo tau (menyangkut manusia), pemalinna aluk patuoan (menyangkut hewan
ternak), pemalinna aluk tananan (menyangkut
tanaman), dan pemalinna aluk bangunan
banua (menyangkut rumah/ tongkonan)[14];
-
Pantiti’
dan pesung, berkenaan dengan
aturan-aturan terperinci persembahan, seperti bagian mana dari hewan korban
yang harus dipotong untuk persembahan, bagaimana meletakkan persembahan itu.
(2) Aluk Sanda Saratu’
Kejadian penting selanjutnya dalam
sejarah Toraja ialah datangnya kelompok yang disebut Tomanurun (to=orang; manurun=turun) di sekitar bagian akhir
abad ke-13 Masehi. Terdapat kepercayaan dikalangan masyarakat bahwa Tomanurun itu datang dari langit, sebuah
kisah mitologis yang ada tidak saja dikalangan orang Toraja tetapi juga dikalangan
kelompok etnis lainnya di Sulawesi Selatan[15].
Di antara para Tomanurun ada tiga
yang paling terkenal, yaitu Tomanurun Tamboro
Langi’ ri Kandora, Tomanurun di Langi’ Puang ri
Kesu’, dan Tomanurun Mambio Langi’ ri Kaero. Ketiganya menetap di “Padang Dipuangi", wilayah bagian Tengah,
dan karena itu mereka digelar Puang[16].
Dengan cepat para Tomanurun itu memperoleh pengaruh besar di masyarakat karena mereka
memiliki kelebihan dalam banyak hal. Tersebar cerita bahwa mereka telah diutus
dari langit oleh Puang Matua dengan
tugas melaksanakan pembaharuan keagamaan. Sebab di mata Puang Matua, aluk waktu itu tidak lagi sebagaimana adanya pada
permulaan. Tokoh paling terkemuka di antara para Tomanurun itu ialah Tamboro Langi’. Dialah yang dikenal
sebagai pendiri apa yang disebut Aluk
Sanda Saratu' (= Aluk Lengkap Seratus).[17]
Di sini lagi, sebagaimana halnya dengan nama Aluk Sanda Pitunna, kita menjumpai simbol-simbol angka. Ajaran
pokok Aluk Sanda Saratu’ ialah bahwa
setiap bentuk kesatuan yang ada dalam kosmos
itu tersusun bertingkat-tingkat. Demikian pulalah halnya dengan masyarakat
manusia. Demikianlah, secara simbolis, angka 1-9 menampilkan rakyat kebanyakan,
dimana angka 9 menandakan orang biasa yang sempurna. Selanjutnya angka puluhan
antara 10 dan 90 menandakan tingkat-tingkat pemimpin dalam masyarakat,
sementara angka 100 (saratu’)
menyimbolkan penguasa tertinggi duniawi, yaitu raja; dan akhirnya angka 1000
adalah untuk Ada Tertinggi, Puang Matua.[18]
Sedemikian itu, dari namanya mudah
diterka bahwa ajaran baru ini menekankan tata duniawi, organisasi masyarakat.
Dalam Aluk Sanda Pitunna tekanan diletakkan
khususnya pada hubungan antara makhluk (terutama manusia) dan kenyataan ilahi (Puang Matua dan dewa/i), dimana hidup
ritual begitu diperhatikan. Dalam kenyataan, ajaran dasar Aluk Sanda Pitunna, “yang sudah tertanam dalam di hati rakyat”[19],
tetap diterima dalam Aluk Sanda Saratu’. Dan
dengan demikian Aluk Sanda Saratu’
sering juga disebut Aluk Sanda Karua (Ajaran
lengkap delapan).[20] Dengan kedatangan para Tomanurun, khususnya lewat penyebaran Aluk Sanda Saratu’, mulailah berlaku
sistem monarki[21],
dan status sosial yang ditandai dengan tiga tingkatan status dalam masyarakat,
yaitu golongan Puang (terdiri dari
para Tomanurun dan keturunannya), tomakaka (penduduk yang sudah ada
sebelumnya) dan kaunan (para hamba,
yang dikatakan datang menyertai para Tomanurun, serta keturunannya). Masa ini dalam sejarah
Toraja disebut “masa aristokratis”
oleh Puang Paliwan Tandilangi’. Kepemimpinan tertinggi dalam masyarakat diambil
alih oleh para Tomanurun dan
keturunannya, sementara para Kepala Adat yang lama (dikalangan para tomakaka) turun ke tingkatan lebih
rendah (bua’ ke bawah), di mana pada
kenyataannya semangat kekeluargaan dan sistem Aluk Sanda Pitunna tetap hidup di kalangan masyarakat.
Apa yang baru dikatakan di atas
berlangsung di bagian selatan Padang Dipuangi
(Tallu Lembangna dan Balusu di Utara)[22].
Di bagian utara berlangsung perkembangan yang berbeda. Agaknya bagian Utara berupaya
tetap mempertahankan Aluk Sanda Pitunna
secara murni. Oleh karena itu dapat dipahami kalau kemudian pusat Aluk Sanda Pitunna pindah dari Banua Puan di Marinding ke Kesu’, yang
selanjutnya dikenal sebagai Panta’nakan
Lolo (tempat penyemaian, artinya tempat di mana orang-orang muda dibina
untuk menjadi pemimpin, atau juga biasa disebut pucuk kepemimpinan), sebagaimana sudah disinggung di atas.
Namun, dalam perjalanan sejarah selanjutnya nyatalah bahwa bagian Utara pun
tidak kebal terhadap pengaruh dari luar, agaknya khususnya dari kerajaan Luwu’,
menyangkut sistem monarki dan status sosial. Karena itu, tidak mengherankan
bahwa Passomba Tedong versi Kesu’
juga bicara mengenai hamba.[23]
[1] John Liku
Ada’, Materi seminar–Lokakarya Toraya
Ma’kombongan: “Perjumpaan Paham Allah dalam Agama Kristiani dan Aluk To Dolo
dalam konteks Pancasila”, Makale 4-5 Juli 2012, lih. Hlm 9.
[2] BPS Gereja Toraja, Op. cit., lih. Kekristenan dan Ketorajaan, hlm 11.
[3] John Liku Ada’, Op.
cit., lih. Materi: Menggali dan Melestarikan Nilai-nilai
Religio-Kulturasi Tallu Lembangna dalam Konteks Pancasila, hlm 1-2.
[4]
Nenek atau ne’ dalam bahasa Toraja
bermakna jamak, bisa berarti nenek dan juga berarti kakek.
[5]
L.T. Tandilintin, Op. cit., hlm
73-75.
[6]
John Liku Ada’, Op. cit., lih. Materi:
Menggali dan Melestarikan Nilai-nilai Religio-Kulturasi Tallu Lembangna dalam
Konteks Pancasila, hlm 11.
[7]
Th. Kobong, Op.cit., hlm 13.
[11]
Abdul Azis Said, Op. cit., hlm
31.
[13] L.T. Tangdilintin, Op. cit., Uraian lebih terperinci, lih. hlm 20-23.
[14] Ibid., lih.
hlm 88-94.
[15] Ibid., hlm
15.
[23]
John Liku Ada’, Materi seminar–Lokakarya
Toraya Ma’kombongan: “Refleksi Seabad Injil Masuk Toraja dan
Menyongsong Centennium Berikutnya”, Makale 4-5 Juli 2012, lih. hlm 7.
No comments:
Post a Comment