Friday, August 4, 2017

Runtuhnya Eran Di Langi' sebagai Tanda Putusnya Hubungan dengan Puang Matua Versi 1


Konon menurut mitologi Toraja, hubungan Puang Matua (Tuhan Pencipta) sangat dekat dengan manusia. karena hubungan inilah sehingga kehidupan manusia sangatlah tentram dan aman, belum ada yang melakukan kejahatan

Semua manusia dapat bertatapan langsung dengan Puang Matua karena adanya Eran Di Langi' (tangga ke langit menuju Tuhan). Melalui tangga inilah manusia datang menghadap kepada Puang Matua untuk meminta pertimbangan dan saran atas apa yang ingin dilakukan atau direncanakan.

Semuanya ini berubah ketika ada seseorang bernama Saratu' Sumbung Pio naik ke langit untuk bertemu dengan Puang Matua untuk meminta sebuah nasihat. Ketika ia ingi kembali ke bumi, pandangannya mengarah ke pematik api yang terbuat dari emas milik Puang Matua. Kemudian dia tergoda untuk mengambilnya.Akhirnya Puang Matua Marah akan kejahatan yang dilakukan oleh manusia tersebut sehingga menendang tangga tersebut hingga jatuh dan runtuh.

Reruntuhan tangga itu jatuh ke Bumi, melintang dari selatan ke utara. Konon itulah yang menjadi bukit batu yang dilihat saat ini yang tersebar mulai dari Bamba Puang sampai ke Bukit Sarira di Toraja.

Semenjak saat itu manusia tidak lagi memiliki akses ke Puang Matua, kecuali melakukan ritual-ritual khusus. Hubungan langsung dengan Puang Matua saat itu mulai Putus karena ulah kejahatan manusia.

Thursday, August 3, 2017

Interaksi antara Injil dan Kebudayaan Toraja

(Lokasi: Jemaat tertua di Simbuang)

Interaksi antara Injil dan kebudayaan Toraja adalah upaya untuk melihat dan memahami hubungan-hubungan dinamis antara Injil dengan nilai-nilai dan konsep-konsep kehidupan yang dipelihara dan diwarisi serta dipandang sebagai pedoman hidup oleh orang Toraja dan masyarakat Toraja. Hubungan yang dinamis itu akan menghasilkan tarik ulur atau hubungan saling mempengaruhi antara keduanya yang berada di antara ketua titik yaitu konflik dan interaksi.

Di antara konflik dan interaksi mengandaikan terjadinya kompromitas, yaitu sebagai jalan tengah untuk menghindari benturan antarbudaya. Kompromitas itu berupa adaptasi, akomodasi, akulturasi, asimilasi, atau dalam kekristenan disebut inkulturasi (Katolik), dan kontekstualisasi (Protestan). Dalam kompromitas ini artinya bahwa unsur luar memposisikan dirinya sebagai yang “memandang”, sementara lokalitas diposisikan sebagai yang “dipandang”

Sunday, July 23, 2017

Part 3: Apa Itu Tana'?


Tana’
Menurut mitologi masyarakat Toraja, cikal bakal dari status kaunan adalah dari kedua putra Pande Nunu, yaitu Datu Bakka’ dan Pong Malaleong. Pande Nunu menikahi perempuan yang tidak jelas asal-usulnya. Kedua putranya itu menyadari status mereka ketika tidak ada seorangpun yang bersedia menikah dengan mereka. Mereka mencari tahu dan mereka mendapatkan jawabannya, itu disebabkan karena ayah mereka menikahi perempuan yang memakai gelang dari tanah (to ponto litakan, to gallang karauan), yang menandakan statusnya yang rendah. Datu Bakka’ dan Pong Malaleong menolak diperlakukan seperti kerbau untuk mengerjakan sawah (Nokami dipotedong tedong uma Datu Bakka’, tang ma’dinmi dipokarambau tempe’ Pong Malaleong). Mereka juga menolak menerima penyelesaiaan tradisional (tarian pitu), tetapi akhirnya mereka tunduk setelah mereka kalah dalam cara terakhir yaitu perang.[1]
Menurut Th. Kobong dalam bukunya Injil dan Tongkonan, status sosial itu sudah sejak dahulu kala terjadi di atas langit. Misalnya yang membawa atau memikul Sukaran Aluk Sola Pemali (sanda pitunna / 7777) dari langit ke bumi melalui Eran Dilangi’ (tangga dari langit ke bumi) adalah seorang budak dari Puang Bura Langi’ bernama Pong Pakulando. Puang Matua memberikan 77777 aluk, tetapi Pong Pakulando tidak sanggup memikulnya sehingga hanya membawa 7777 aluk[2]. Tugas dan kewajiban manusia adalah mengamalkan aluk todolo dengan mengikuti kelahiran manusia sesuai dengan ajaran sukaran aluk yang menurut mitos kelahiran manusia itu ada empat proses yang ditempuh oleh Puang Matua dalam terciptanya nenek moyang manusia sebagai berikut:
(1)   Kelahiran yang pertama ialah kelahiran atau diciptakannya Datu La Ukku’ melalui Sauan Sibarrung.
(2)   Kelahiran kedua ialah kelahiran Puang Adang dari perkawinan Banggai Rante dan Tallo’ Mangka Kalena atas suruhan Puang Matua.
(3)   Kelahiran ke tiga ialah diciptakannya Pande Pong Kambuno Langi’ melalui pula Sauan Sibarrung.
(4)   Kelahiran yang ke empat ialah diciptakannya Patto Kalembang oleh Puang Matua sebagai nenek manusia yang terakhir di atas langit.[3]
Dari keempat Nenek Moyang Manusia ini masing-masing diberikan tugas dan kewajiban akan menempati  bumi dan tugas memuliakan Puang Matua, tugas tersebut adalah
-          Datu La Ukku’ menerima sukaran aluk (agama dan aturan hidup)
-          Puang Adang menerima maluang ba’tang (kepemimpinan dan kecerdasan)
-          Pande Pong Kambuno Langi’ menerima pande (Keahlian seperti tukang-tukang, ahli perang, dan ketangkasan)
-          Patto Kalembang menerima matutu inaa (pengabdi).[4]
Tahapan kelahiran manusia menurut Aluk To dolo menjadi status sosial (tana’) dalam masyarakat Toraja, oleh karena itu tana’ dalam masyarakat Toraja terdiri dari empat tingkatan yaitu:
-          Tana’ Bulaan, adalah lapisan bangsawan tinggi sebagai pewaris yang dapat menerima sukaran aluk, yang dipercayakan mengatur aturan hidup dan memimpin agama. Yaitu: Puang, Ma’dika, Siambe’, dan Sindo’
-          Tana’ Bassi, adalah lapisan bangsawan menengah sebagai pewaris yang dapat menerima maluangan bata’tang, ditugaskan mengatur kepemimpinan dan mengajarkan kecerdasan. Yaitu: To makaka (bangsawan dan orang kaya) dan To Parengge’.
-          Tana’ Karurung, adalah lapisan rakyat biasa yang merdeka, tidak pernah diperintah langsung, sebagai pewaris yang dapat menerima pande, yaitu tukang-tukang dan orang-orang terampil. Yaitu: bulo dia’pa’ atau to buda (orang kebanyakan dan orang merdeka)
-          Tana’ Kua-kua, adalah lapisan hamba sahaya sebagai pewaris yang menerima tanggung jawab sebagai pengabdi, biasanya disebut matutu inaa. Yaitu: kaunan (budak).[5]
Dalam pembagian tana’ tersebut sangat menentukan dalam tata kehidupan masyarakat Toraja. Hal-hal yang berkaitan dengan tana’ dapat dilihat dalam:
(1)   Menghadapi Perkawinan atau Rampanan Kapa’
Kapa’ (Kapas artinya putih, suci, bersih, sakral, juga kapa’ juga berarti ikatan, rampanan=nikah, juga rampanan juga berarti balok panjang pada kiri kanan rumah tempat atap bertumpu (landasan)). Kapa’ juga berarti tana’ atau patok yang artinya ikatan/ketentuan yang telah ditetapkan. Jadi rampanan kapa’ bisa juga bermakna landasan/tumpuan bagi ketentuan yang telah ditetapkan menjadi dasar suatu peraturan yang disepakati. Kapa’ juga berarti denda yang disepakati kedua belah pihak keluarga yang harus dibayar ketika salah satu pihak dianggap bersalah menceraikan pasangannya jika terjadi perceraian. Denda tersebut adalah tana’ bulaan = 12 sampai 24 kerbau (6 sampai 12 pasang), tana’ bassi = 6 kerbau (3 pasang), tana’ karurung = 2 kerbau (1 pasang), dan tana’ kua-kua = 1 babi betina yg sudah melahirkan (bai doko).[6]
(2)   Menghadapi Pemakaman/Upacara Adat Pemakaman.
Menurut Aluk To Dolo, keselamatan manusia ditentukan oleh ritus pemakamannya dan ritus pemakaman ini terkait berdasarkan dengan tana’ dari orang yang meninggal. Oleh karena itu berbagai tingkat upacara pemakaman jenazah dalam kalangan orang Toraja sesuai dengan tana’ masing-masing. Tingkatan tersebut adalah
-          Didedekan palungan yaitu suatu metafora ritus bagi seseorang betul-betul sangat miskin. Seekor babi imajiner dipanggil dengan memukul-mukul palungan. Ritus ini untuk semua tana’ yang betul-betul sangat miskin.
-          Disilli’ adalah ritus dengan seekor babi untuk semua tana’.
-          Dibai tungga’ yaitu ritus dengan satu ekor babi (tungga’=tunggal), tetapi ritus ini hanya berlaku untuk tana’ kua-kua.
-          Dibai a’pa’ yaitu ritus dengan empat ekor babi, ritus ini hanya untuk tana’ kua-kua.
-          Tedong tungga’ yaitu ritus dengan satu ekor kerbau, ritus ini untuk semua tana’.
-          Tedong tallu (tallung bongi) yaitu ritus dengan tiga ekor kerbau dan berlangsung tiga hari (malam), ritus ini untuk tana’ karurung ke atas.
-          Tedong pitu (limang bongi) yaitu ritus dengan tujuh ekor kerbau dan berlangsung lima hari (malam), ritus ini untuk tana’ bassi.
-          Tedong kasera atau lebih (pitung bongi) yaitu ritus dengan sembilan ekor kerbau dan berlangsung tujuh hari (malam) (kasera=sembilan), ritus ini untuk tana’ bassi dan tana’ bulaan.
-          Rapasan yaitu ritus yang tertinggi; kerbau boleh lebih dari sembilan ekor, ritus ini untuk tana’ bassi dan tana’ bulaan.[7]
(3)   Menghadapi pengangkatan Jabatan Adat atau menjadi Pemerintah Adat.[8] Pemangku adat adalah tana’ bulaan.
Pada saat aluk sanda saratu’ muncul yang dibawa oleh Tomanurun Tamboro Langi’, kedudukan dan pemerintahan yang ada saat itu adalah bersifat monarkhistis, maka menurut aluk sanda saratu’ susunan tana’ adalah sebagai berikut:
-          Tana’ Bulaan hanya khusus bagi turunan Puang Tomanurun.
-          Tana’ Bassi untuk bangsawan yang bukan turunan Puang Tomanurun, atau darahnya lebih banyak turunan bukan turunan Tomanurun.
-          Tana’ karurung untuk semua rakyat merdeka atau yang tidak berketurunan bangsawan yang kesemuanya digolongkan dalam golongan kasta pengabdi kepada Tana’ Bassi dan Tana’ Bulaan.[9]
Sedangkan Tana’ dalam Tallulembangna (ketiga lembang: Makale, Sangalla’ dan Mengkendek) khususnya di daerah Basse Tangngana[10] yaitu Sangalla’ dikenal penggolongan tana’ sebagai berikut:
-          Tana’ Bulaan: Puang Massang yaitu Kelas tertinggi (bangsawan) atau mereka yang disebut orang-orang “berdarah putih”  dan Anak disese yaitu mereka lahir dari pernikahan antara Puang Massang dengan To makaka,
-          Tana’ bassi: To makaka yaitu orang-orang merdeka atau bebas,
-          Tana’ karurung: Kaunan yaitu budak atau hamba-termasuk di dalamnya adalah kaunan tai manuk.



[1] Ibid., hlm 7.
[2] Th. Kobong, Op. cit., bnd. hlm 18.
[3] L.T. Tangdilintin, Op. cit., hlm 202-203.
[4] Ibid., hlm 203.
[5] Abdul Aziz Said, Op. cit., hlm 24.
[6] L.T. Tangdilintin, Op. cit., hlm 213.
[7] Th. Kobong, Op. cit., hlm 50.
[8] L.T. Tangdilintin, Op. cit., hlm 205.
[9] Ibid., hlm 208.
[10] Basse Tangngana artinya sebuah “basse” atau “perjanjian” dari Tallu Lembangna (Makale, Sangalla’, dan Mengkendek) yang telah ditetapkan oleh penguasa 3 daerah itu dengan melakukan perlombaan. Juara pertama: Makale (Basse Kakanna), Juara Kedua: Sangalla’ (Basse Tangngana), dan Juara Ketiga: Mengkendek (Basse Adinna). (Hasil wawancara dengan Bpk. Rupang Anggo tgl 30 Oktober 2016).

Saturday, July 22, 2017

Part 2: Mengenal Alukta (Aluk Todolo)


a.      Aluk To Dolo
Aluk To Dolo berasal dari kata Aluk dan To Dolo, Aluk artinya aturan atau upacara, juga dapat diartikan sebagai kepercayaaan. Sedangkan To Dolo artinya leluhur atau nenek moyang. secara harafiah Aluk To Dolo dapat diartikan sebagai agama leluhur. Aluk To Dolo (agama leluhur) atau Alukta (agama kita), agama asli Toraja sejak 1969 mendapat status resmi sebagai mazhab Agama Hindu, namun sesungguhnya tidak memuat paham atau ajaran Agama Hindu. Aluk To Dolo terbentuk dari sejumlah lapisan tradisi dalam perjalanan sejarah. Sekurangnya terdapat dua lapisan tradisi utama, yaitu Aluk Sanda Pitunna dan Aluk Sanda Saratu’.[1]
Kepercayaan Aluk To Dolo tidak memiliki kitab suci secara tertulis, karena budaya Toraja diwariskan secara lisan atau tidak tertulis[2]. Sumber utama dari ajaran Aluk To Dolo adalah passomba tedong. Passomba tedong secara harafiah berasal dari kata passomba artinya penyucian dan tedong artinya kerbau yaitu proses penyucian kerbau. Passomba tedong merupakan inti dari ajaran Aluk To Dolo yang merupakan “buku suci” Aluk, berisi tentang kisah penciptaan dengan meletakkan dasar relasi harmonis dengan tiga pucuk kehidupan (tallu lolona): relasi harmonis dengan Pencipta, dewa-dewa, roh-roh dan nenek-moyang (leluhur); relasi harmonis dengan sesama manusia; dan relasi harmonis dengan alam lingkungan. Passomba tedong terdiri dari dua versi yaitu Passomba Tedong versi Kesu’ (PTK) dan Passomba Tedong versi Makale Tallu Lembangna (PTM-TL). Naskah PTK terdiri dari 791 kuplet dan PTM-TL terdiri dari 1186 kuplet.[3]
Menurut Ajaran Aluk To Dolo Dalam Passomba Tedong terjadi kisah penciptaan di langit oleh Puang Matua. Ia menciptakan segala isi bumi ini dengan pertama-tama menciptakan 8 (delapan) Zat atau Makhluk di atas langit menggunakan bulaan matasak (emas murni) melalui suatu wadah tempahan Sauan sibarrung (puputan kembar, suling kembar) sebagai berikut:
-          Nenek[4] dari Manusia bernama Datu La Ukku’,
-          Nenek dari Racun berbisa bernama Menrante,
-          Nenek dari Kapas bernama La Ungku,
-          Nenek dari Besi bernama Irako,
-          Nenek dari Hujan bernama Pong Pirik-pirik,
-          Nenek dari Kerbau bernama Menturini,
-          Nenek dari Padi bernama Lamemme, dan
-          Nenek dari Ayam bernama Menturiri.[5]
Hubungan semua ciptaan ini adalah sangserekan artinya bahwa paruh-sobekan dari satu keutuhan dengan kata lain bahwa mereka adalah saudara. Yang bukan manusia rela mengorbankan diri untuk manusia (Datu La Ukku’).[6] Debu dari ciptaan ini dihamburkan Puang Matua di lembah yang subur. Setelah lewat jumlah malam yang lengkap, tumbuhlah bermacam pohon dan tanaman, dan hewan.[7]
(1)   Aluk Sanda Pitunna
Menurut kepercayaan leluhur, manusia Toraja adalah keturunan Puang Buralangi’, makhluk ilahi/dewa yang turun dari langit ke bumi di bawah dan kawin dengan Kembong Bura. Dari perkawinan inilah lahir manusia pertama di bumi yaitu Pong Mula Tau.[8] Aluk Sanda Pitunna dikaitkan dengan dua tokoh, yaitu Tangdilino’ dan Suloara’. Tampaknya, umum diterima bahwa Tangdilino’ mendirikan pusat pemerintahan baru di Marinding, dengan nama Banua Puan dan memakai gelar baru, yaitu Ma’dika. Perubahan nama dan gelar ini perlu mendapat perhatian. Banua berarti “rumah”, sedangkan Puan adalah bentuk singkat dari ampuan atau empuan, yang berasal dari akar kata mpu, yang dari padanya berasal pula empu, ampu dan puang (= pemilik, tuan). Jadi Banua Puan secara harafiah berarti “rumah yang memiliki”, tetapi dapat juga berarti “rumah dari orang yang memiliki”. Namun menarik bahwa Tangdilino’ mengambil gelar Ma’dika, bukan puang. Kata Ma’dika (bdk. bahasa Indonesia, merdeka) berasal dari bahasa Sansekerta, dan berarti “bebas atau independen”.
Pemerintahan Banua Puan, menurut Tangdilintin, didirikan pada abad ke-10[9]. Pendapat ini didukung oleh fakta sejarah, bahwa pada awal abad yang sama Mpu Sindok mendirikan sebuah dinasti baru di Jawa Timur. Sebuah piagam Mpu Sindok, yang dibuat pada tahun 929, isinya menjadikan Cungrang sebuah daerah perddhikan (daerah independen), sebagai penghormatan kepada ayah mertuanya, Rakryan Bawang. Kata  perddhikan berasal dari akar kata yang sama dengan ma’dika, maraddhika, merdeka. Agaknya Tangdilino’ membebaskan diri dari kasak kusuk persaingan antar kelompok (para Puang lembang) di selatan, dan mendirikan pusat pemerintahan baru Banua Puan di Marinding, Mengkendek.[10]
   Dalam upayanya menegakkan kembali kedamaian dan mengembangkan sebuah tata masyarakat baru serta aturan-aturan keagamaan yang didasarkan pada filosofi, yang kemudian dikenal dengan nama “Aluk Sanda Pitunna” (Aluk Lengkap Tujuh), Tangdilino’ dibantu oleh Pong Sulo Ara’, seorang ahli adat dari wilayah Sesean. Aluk Sanda Pitunna berlandaskan tujuh prinsip, yang terdiri dari tiga prinsip aluk (Aluk Tallu Oto’na) dan empat prinsip adat (Ada’ A’pa’ Oto’na). Ke tujuh dasar/falsafah tersebut adalah:
Aluk Tallu Oto’na (tiga falsafah agama), yaitu:
-          Falsafah mengenai kepercayaan terhadap Puang Matua sebagai pencipta alam semesta yang wajib disembah dengan aturan-aturan tertentu.
-          Falsafah mengenai kepercayaan terhadap Deata-deata sebagai pemelihara alam semesta, ciptaan Puang Matua, yang wajib disembah berdasarkan aturan-aturan agama.
-          Falsafah mengenai kepercayaan terhadap To Membali Puang atau To Dolo sebagai pengawas dan pemberi berkat kepada manusia turunannya, yang wajib dipuja dan dimuliakan berdasarkan aturan-aturan agama.[11]
Ada’ A’pa’ oto’na (empat falsafah adat), yaitu:
-          Ada’na Dadinna Ma’loko Tau atau adat kelahiran manusia
-          Ada’na Tuona Ma’balo Tau atau adat kehidupan manusia
-          Ada’na Manombala Ma’lulo Tau atau adat pemujaan manusia kepada Tuhannya.
-          Ada’na Masena Ma’lulo Tau adat kematian manusia[12]
Pada tataran pelaksanaan aluk (bidang ritual), lagi-lagi ada prinsip empat, sebagai berikut:
-          Aluk simuane tallang silau eran,  prinsip pembagian dua ritual, yaitu aluk rambu tuka’ atau aluk rampe matallo (ritual yang berkaitan dengan kehidupan) dan aluk rambu solo’ atau aluk rampe matampu’ (yang berkaitan dengan kematian);
-          Lesoan aluk atau patiran aluk, menyangkut tingkatan dan aturan pelaksanaan aluk menurut ketiga wilayah yang berbeda, yaitu wilayah Timur, Tengah, dan Barat[13];
-          Pemali sukaran aluk, kewajiban-kewajiban moral dan larangan-larangannya, yang dikelompokkan menjadi pemalinna aluk ma’lolo tau (menyangkut manusia), pemalinna aluk patuoan (menyangkut hewan ternak), pemalinna aluk tananan (menyangkut tanaman), dan pemalinna aluk bangunan banua (menyangkut rumah/ tongkonan)[14];
-          Pantiti’ dan pesung, berkenaan dengan aturan-aturan terperinci persembahan, seperti bagian mana dari hewan korban yang harus dipotong untuk persembahan, bagaimana meletakkan persembahan itu.
(2)   Aluk Sanda Saratu’
Kejadian penting selanjutnya dalam sejarah Toraja ialah datangnya kelompok yang disebut Tomanurun (to=orang; manurun=turun) di sekitar bagian akhir abad ke-13 Masehi. Terdapat kepercayaan dikalangan masyarakat bahwa Tomanurun itu datang dari langit, sebuah kisah mitologis yang ada tidak saja dikalangan orang Toraja tetapi juga dikalangan kelompok etnis lainnya di Sulawesi Selatan[15]. Di antara para Tomanurun ada tiga yang paling terkenal, yaitu Tomanurun Tamboro Langi’ ri Kandora, Tomanurun di Langi’ Puang ri Kesu’, dan Tomanurun Mambio Langi’ ri Kaero. Ketiganya menetap di “Padang Dipuangi", wilayah bagian Tengah, dan karena itu mereka digelar Puang[16].
Dengan cepat para Tomanurun itu memperoleh pengaruh besar di masyarakat karena mereka memiliki kelebihan dalam banyak hal. Tersebar cerita bahwa mereka telah diutus dari langit oleh Puang Matua dengan tugas melaksanakan pembaharuan keagamaan. Sebab di mata Puang Matua, aluk waktu itu tidak lagi sebagaimana adanya pada permulaan. Tokoh paling terkemuka di antara para Tomanurun  itu ialah Tamboro Langi’. Dialah yang dikenal sebagai pendiri apa yang disebut Aluk Sanda Saratu' (= Aluk Lengkap Seratus).[17] Di sini lagi, sebagaimana halnya dengan nama Aluk Sanda Pitunna, kita menjumpai simbol-simbol angka. Ajaran pokok Aluk Sanda Saratu’ ialah bahwa setiap bentuk kesatuan yang ada dalam kosmos itu tersusun bertingkat-tingkat. Demikian pulalah halnya dengan masyarakat manusia. Demikianlah, secara simbolis, angka 1-9 menampilkan rakyat kebanyakan, dimana angka 9 menandakan orang biasa yang sempurna. Selanjutnya angka puluhan antara 10 dan 90 menandakan tingkat-tingkat pemimpin dalam masyarakat, sementara angka 100 (saratu’) menyimbolkan penguasa tertinggi duniawi, yaitu raja; dan akhirnya angka 1000 adalah untuk Ada Tertinggi, Puang Matua.[18]
Sedemikian itu, dari namanya mudah diterka bahwa ajaran baru ini menekankan tata duniawi, organisasi masyarakat. Dalam Aluk Sanda Pitunna tekanan diletakkan khususnya pada hubungan antara makhluk (terutama manusia) dan kenyataan ilahi (Puang Matua dan dewa/i), dimana hidup ritual begitu diperhatikan. Dalam kenyataan, ajaran dasar Aluk Sanda Pitunna, “yang sudah tertanam dalam di hati rakyat”[19], tetap diterima dalam Aluk Sanda Saratu’. Dan dengan demikian Aluk Sanda Saratu’ sering juga disebut Aluk Sanda Karua (Ajaran lengkap delapan).[20] Dengan kedatangan para Tomanurun, khususnya lewat penyebaran Aluk Sanda Saratu’, mulailah berlaku sistem monarki[21], dan status sosial yang ditandai dengan tiga tingkatan status dalam masyarakat, yaitu golongan Puang (terdiri dari para Tomanurun dan keturunannya), tomakaka (penduduk yang sudah ada sebelumnya) dan kaunan (para hamba, yang dikatakan datang menyertai para Tomanurun,  serta keturunannya). Masa ini dalam sejarah Toraja disebut “masa aristokratis” oleh Puang Paliwan Tandilangi’. Kepemimpinan tertinggi dalam masyarakat diambil alih oleh para Tomanurun dan keturunannya, sementara para Kepala Adat yang lama (dikalangan para tomakaka) turun ke tingkatan lebih rendah (bua’ ke bawah), di mana pada kenyataannya semangat kekeluargaan dan sistem Aluk Sanda Pitunna tetap hidup di kalangan masyarakat.
Apa yang baru dikatakan di atas berlangsung di bagian selatan Padang Dipuangi (Tallu Lembangna dan Balusu di Utara)[22]. Di bagian utara berlangsung perkembangan yang berbeda. Agaknya bagian Utara berupaya tetap mempertahankan Aluk Sanda Pitunna secara murni. Oleh karena itu dapat dipahami kalau kemudian pusat Aluk Sanda Pitunna pindah dari Banua Puan di Marinding ke Kesu’, yang selanjutnya dikenal sebagai Panta’nakan Lolo (tempat penyemaian, artinya tempat di mana orang-orang muda dibina untuk menjadi pemimpin, atau juga biasa disebut pucuk kepemimpinan), sebagaimana sudah disinggung di atas. Namun, dalam perjalanan sejarah selanjutnya nyatalah bahwa bagian Utara pun tidak kebal terhadap pengaruh dari luar, agaknya khususnya dari kerajaan Luwu’, menyangkut sistem monarki dan status sosial. Karena itu, tidak mengherankan bahwa Passomba Tedong versi Kesu’ juga bicara mengenai hamba.[23]




[1] John Liku Ada’, Materi seminar–Lokakarya Toraya Ma’kombongan: “Perjumpaan Paham Allah dalam Agama Kristiani dan Aluk To Dolo dalam konteks Pancasila”, Makale 4-5 Juli 2012, lih. Hlm 9.
[2] BPS Gereja Toraja, Op. cit., lih. Kekristenan dan Ketorajaan, hlm 11.
[3] John Liku Ada’, Op. cit., lih. Materi: Menggali dan Melestarikan Nilai-nilai Religio-Kulturasi Tallu Lembangna dalam Konteks Pancasila, hlm 1-2.
[4] Nenek atau ne’ dalam bahasa Toraja bermakna jamak, bisa berarti nenek dan juga berarti kakek.
[5] L.T. Tandilintin, Op. cit., hlm 73-75.
[6] John Liku Ada’, Op. cit., lih. Materi: Menggali dan Melestarikan Nilai-nilai Religio-Kulturasi Tallu Lembangna dalam Konteks Pancasila, hlm 11.
[7] Th. Kobong, Op.cit., hlm 13.
[8] BPS Gereja Toraja, Op. cit., lih. Materi: Kekristenan dan Ketorajaan, hlm 16.
[9] L.T. Tangdilintin, Op. cit., hlm 16 dan 74-75.
[10] John Liku Ada’, Op. cit., hlm 5.
[11] Abdul Azis Said, Op. cit., hlm 31.
[12] Ibid., hlm 31.
[13] L.T. Tangdilintin, Op. cit., Uraian lebih terperinci, lih. hlm 20-23.
[14] Ibid., lih. hlm 88-94.
[15] Ibid., hlm 15.
[16] Ibid., hlm 87-88.
[17] Ibid., hlm 92.
[18]Ibid.,hlm 92-93.
[19] Ibid., hlm 15.
[20] Ibid., hlm 89-90.
[21] Ibid., hlm 93.
[22] Ibid., lih hlm 15.
[23] John Liku Ada’, Materi seminar–Lokakarya Toraya Ma’kombongan:Refleksi Seabad Injil Masuk Toraja dan Menyongsong Centennium Berikutnya”, Makale 4-5 Juli 2012, lih. hlm 7.